Cerita Sex Dengan Wanita Panggilan Yang Juga Temanku



Cerita Sex Hot Dewasa - Sudah dua bulan aku menjadi kekasih gelap tante Ami. Meski aku menikmati hubungan gelap dengan wanita paruh baya itu, namun timbul juga keinginanku untuk menjajal dengan cewek-cewek sebaya. Tentu saja, sasaran paling dekat adalah cewek-cewek teman sekolahku sendiri. Tapi, aku tidak tahu bagaimana harus memulai, mengingat pengalamanku yang masih nol besar untuk mendekati cewek.



Suatu hari tim bola basket putra SMU-ku mengadakan pertandingan persahabatan dengan tim SMU favorit, yang diadakan di sekolahku. Aku yang tidak bisa main dan tidak begitu suka main basket, terpaksa harus datang dalam kapasitasku sebagai pengurus OSIS seksi olahraga, mendampingi kepala sekolah dan ketua OSIS. Lebih dari itu, aku harus datang lebih awal, karena mau ada briefing untuk acara seremoni sebelum pertandingan dimulai. 

Begitu sampai di sekolah, aku langsung menuju ke lapangan basket yang berada di samping gedung sekolah. Nampak Antok ketua OSIS dan Sarah si sekreatis sudah menunggu di sana. “Sori aku telat. Pada lama nunggu ya?” sapaku setengah basa-basi. “Ah, enggak juga. Kita aja yang terlalu cepat datangnya,” Sarah yang menjawab. Sejenak aku memandangi si empunya suara itu. 

Kuperhatikan wajahnya. “Cantik sekali,” kataku dalam hati. “Dik, ngapain kamu mandangin aku kayak gitu. Kayak baru sekali ketemu aja!” hardik Sarah sambil menahan malu, terlihat dari pipinya yang agak merona merah. “Hari ini kamu nampak cantik sekali Rah,” Upss, aku sendiri kaget dengan keberanianku ngomong terus-terang seperti itu. “Emangnya kemarin-kemarin nggak cantik?” Pipi Sarah semakin memerah. 

“Kemarin-kemarin sih ..” “Heh, enak aja aku dicuekin. Ngrayunya dilanjutin nanti aja,” hardik Antok sambil menepuk pundakku. “Eh, sori .. sori, Tok,” jawabku sambil cengar-cengir. Selanjutnya briefing dimulai. Ternyata, yang membriefing Sarah yang juga mengatur susunan acara sebelum pertandingan. Selama briefing itu, aku gunakan kesempatan untuk memperhatikan wajah Sarah. Sarah memang cantik. 

Parasnya ayu, dan nampak keibuan. Sudah dua tahun aku berhubungan dengan Sarah lewat kegiatan sekolah, tapi baru kali ini saya menyadari betapa cantiknya dia. Pantas, dia sering jadi bahan pembicaraan teman-teman cowok di sekolahku. Memang badannya tidak bisa dibilang bagus. Sarah tergolong pendek, paling kurang dari 155 cm tingginya, dan badannya agak sedikit gemuk. 

Tapi, anak-anak sekolah biasanya lebih memperhatikan wajah ketimbang bodi dan yang lain-lainnya. Singkat cerita, setelah briefing dilanjutkan dengan acara seremonial. Selama itu aku lebih banyak mendampingi ketua OSIS dan kepala sekolah berbasa-basi dengan kepala sekolah dan pengurus OSIS tim tamu, sehingga aku tidak tahu kapan persisnya, sekitar lapangan basket sudah ramai dengan suporter, kebanyakan dari sekolahku sendiri, dan … 


Ternyata didominasi cewek. Barangkali suporter ceweknya ada sekitar 70-an persen. Diam-diam aku ngiri. Selama aku memperkuat tim sepakbola sekolahku, belum pernah disuporteri begitu banyak cewek. Kalau tim sepakbola bertanding, yang datang cowok-cowok. Kalaupun ada cewek, paling-paling datang sebagai gandengan cowoknya. 

Selama pertandingan berlangsung, aku tidak begitu memperhatikannya. Di samping aku tidak begitu suka basket, memperhatikan tingkah laku suporter cewek jauh lebih menarik bagiku. Di antara deretan suporter cewek itu, aku melihat Sitra, teman sekelasku yang juga pemain basket untuk tim putri. Postur Sitra memang cocok untuk basket. Tinggi dan agak langsing. 

Wajahnya tergolong manis, dengan kulit agak kehitaman, sehingga sebutan hitam-manis sangat pas di sematkan padanya. Sitra juga tergolong cewek populer di antara teman-teman cowok. Saat aku memperhatikan suporter-suporter cewek, tiba-tiba ada seorang cewek yang datang, langsung merangsek ke barisan depan dan memberi dukungan dengan hebohnya. 

Tidak heran, si cewek itu Pita, yang terkenal heboh dan paling sering jadi pembicaraan. Bahkan kabar selentingan dia suka dipakai oleh Om-Om. Tentu saja aku tidak begitu memperhatikan kabar itu, selain kabarnya yang tidak jelas, juga aku hanya kenal biasa-biasa saja dengan Pita.” Tapi sore itu lain. Perhatianku tidak lepas dari Pita dan tingkah lakunya. 

Dia jauh lebih menyita perhatianku ketimbang Sarah atau Sitra. Mataku tak pernah bosan melihat sepasang teteknya yang bergoncang-goncang dari balik T-Shirt mengikuti sorak-sorainya yang heboh itu. Teteknya tergolong cukup besar, yang membuatku beberapa kali menelan ludah membayangkan seandainya Pita telanjang. 

Sehabis pertandingan basket, aku sengaja menyelinap dan bergabung dengan teman-temanku agar bisa tidak ikut mengantar delegasi tim tamu. Aku lihat Antok agak celingukan, mungkin mencari aku, namun tidak bisa ditemukannya. Setelah berhasil lolos, aku terus mencari kesempatan agar bisa mendekati Pita. 


Susah sekali, karena dia selalu berada di antara teman-temanku, baik yang cewek maupun cowok. Sampai akhirnya aku sempat mencuri dengar dia pamitan mau ke toilet, dan langsung bergegas. “Ini kesempatan,” pikirku, karena toilet hanya ada di bagian dalam komplek sekolah. Tanpa pikir panjang, akupun segera menyusulnya. 

Sesampai di toilet, aku berdiri menunggu di dekat tembok pemisah antara toilet pria dan wanita. Tidak sampai 5 menit Pita sudah keluar dari toilet wanita. “Pita,” panggilku. Pita seketika menoleh padaku. “Oh, Didik. Sedang ngapain di situ?” “Sama kayak kamu. Kenapa tadi kita nggak barengan aja ya?” godaku. “Enak aja, lain jurusan bo,” jawab Pita enteng. 

Kemudian aku menghampiri Pita dan kami jalan bersama keluar dari komplek sekolah sambil ngobrol. Pita ternyata enak diajak ngobrol. Omongnya ceplas-ceplos dan tidak banyak basa-basi. Mendadak aku bisa akrab dengan Pita, padahal biasanya hanya ‘hai-hai’ saja kalau ketemu. 

Sampai akhirnya .. “Pit, kita pulang bareng yok?” ajakku. “Lho, kan hampir tiap hari kita pulang bareng satu bis kota,” jawab Pita. “Maksudku sih .. ya barengnya duduk di kursi yang sama sambil ngobrol,“ jelasku. “Itu sih, oke-oke aja. Cuman, kali ini kayaknya belum bisa deh. Aku ada acara lain, jadi nggak langsung pulang,” kata Pita lagi. “Ada janji yaaa?” tanyaku. “Janji apaan, dan sama siapa?” Pita balik bertanya. “Ya, barangkali janji sama cowokmu. 

Atau udah ada Om-Om yang menunggu .. “ aku tidak meneruskan kata-kataku. Kulihat Pita mendadak melotot padaku sambil mukanya merah padam. “Plakkk !” belum sempat aku menyadari, sebuah tamparan mendarat di pipiku. “Lancang mulutmu ya! Kamu kira aku ini cewek apaan! Nggak kusangka … “ Pita langsung meninggalkanku setengah berlari. Aku tidak mengejarnya, hanya berdiri sambil mengusap pipiku yang lumayan panas kena tamparan Pita. 

Beberapa hari setelah kejadian itu, selesai kencan dengan tante Ami, aku sempat melihat Pita keluar dari hotel yang sama dengan tempatku dan tante Ami berkencan. Aku sengaja sembunyi waktu itu, selain agar Pita tidak melihatku, juga agar aku lebih leluasa melihat dan meyakinkan bahwa yang kulihat memang Pita. Setelah yakin penglihatanku tidak salah, timbul pikiranku untuk menebus tamparan Pita. Aku tidak tahu rumah Pita. 


Aku hanya tahu bahwa dia kalau pulang naik bus kota satu jurusan denganku, namun aku tidak tahu persis dia turun di mana, karena rumah pamanku jaraknya lebih dekat ke sekolah, sehingga selalu aku yang turun bus lebih dulu. Akhirnya aku memilih mencari tahu alamatnya lewat data siswa-siswi di sekolah. Tentu saja sebagai pengurus OSIS aku punya akses sehingga tanpa kesulitan aku bisa mendapatkan alamatnya. 

Esoknya, sepulang sekolah aku tidak langsung pulang ke rumah paman. Alasan tentu sudah kusiapkan matang sebelumnya. Aku sengaja tidak naik bus kota yang pertama kali datang. Aku menunggu jadwal bus berikutnya yang selisih waktunya sekitar 15 menit. Agak lama aku mencari alamat Pita. Lumayan keringatan juga. Setelah tanya sana-sini, akhirnya kutemukan rumah Pita. Rumahnya sederhana, sangat sederhana malah. 

Bangunannya semi permanen. Dinding bata hanya sekitar 1-1 setengah meter, selebihnya papan kayu. Gang di depan rumah Pita terbilang sempit, dan persis di depan seberang gang ada tembok tinggi dan panjang, sepertinya tembok pabrik. Di sebelah kanannya rumah lumayan besar dengan dinding dan pagar tembok yang cukup tinggi. Sedang di sebelah kirinya terdapat tanah kosong yang memisahkan dengan rumah lainnya, yang juga sederhana. 

Aku sejenak memandangi rumah Pita. Kusam, sangat kontras dengan gaya dan penampilan Pita di sekolah. Aku sempat berpikiran, jangan-jangan orang salah menunjukkan rumah Pita. Namun, akhirnya kuhampiri juga rumah itu. Kuketuk pintu rumah yang tertutup setengahnya. Seorang anak laki-laki seusia anak SMP keluar. 

Setelah meyakinkan bahwa memang benar itu rumah Pita, kusampaikan maksudku untuk ketemu Pita pada anak tadi, yang ternyata adik Pita. Tak lama Pita keluar setelah dipanggil adiknya. Dia masih memakai rok abu-abu sekolah, namun atasnya sudah berganti T-Shirt warna biru tua. “Oh, kamu,” katanya singkat dan ketus begitu tahu aku yang mencarinya. 

“Lumayan susah juga ya nyari rumahmu,” kataku sambil melihat-lihat sekeliling rumah Pita. “Mau apa kamu kemari?” tanya Pita masih dengan nada ketus sambil bersedekap berdiri di depan pintu. “Mau apa yah,” aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. “Eng.. mungkin pengin kamu tampar lagi,” Pita memperlihatkan ekspresi sangat geram mendengar kata-kataku yang terakhir. “Sori ya, bukan waktunya melucu. Sekarang, bilang apa perlumu. 


Aku nggak punya banyak waktu!” katanya masih dengan ekspresi geram, namun suaranya agak ditahan, mungkin khawatir terdengar adiknya yang sudah masuk ke dalam rumah. “Kan udah kubilang, aku pengin kamu tampar lagi,” jawabku santai. Saat itu aku dan Pita masih sama-sama berdiri di depan pintu rumahnya. 

“Karena, aku pengin bilang sesuatu yang mungkin membuatku kamu tampar lagi,” lanjutku. “Maksudmu?!” tanya Pita sambil mendelik. “Maksudku .. aku pengin bilang lagi soal Om-Om,” kata-kataku terhenti melihat tangan Pita yang terangkat seperti mau menamparku tapi ditahannya. 

“Cuman kali ini dari apa yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri,” lanjutku setelah Pita tidak jadi menamparku. “Pergi kamu dari ini!” katanya sambil menahan marah. “Soal pergi itu gampang. Aku akan pergi, tapi setelah kamu njelasin kenapa tempo hari kamu menamparku. Padalah yang kubilang itu ternyata betul. Sekarang tamparlah aku lagi, karena yang kubilang sekarangpun juga betul.” Beberapa saat Pita tidak berkata apa-apa, tapi kegelisahan nampak jelas dari wajahnya. 

Kemudian dia sempat celingak-celinguk melihat gang depan rumahnya. “Masuk!” suruhnya masih dengan nada ketus. Aku melangkah masuk mengikuti Pita menuju ke ruang tamu. Ada satu set sofa di sana, namun warnanya sudah kusam dan sobek di sana-sini. Aku mengambil tempat duduk di seberang Pita, terhalang meja. “Sekarang, apa maumu?” tanya Pita masih ketus, namun sekarang sambil menunduk. Belum sempat kujawab, ada seseorang memanggil dari luar rumah. 

Ternyata adik Pita dicari temannya, selanjutnya mereka pergi setelah adik Pita sempat pamitan sama kakaknya dan juga aku. Setelah sepi lagi .. “Kan udah kubilang, aku mau penjelasan kenapa kamu menamparku tempo hari. Aku yakin, yang kulihat di hotel X kemarin itu kamu, dan kamu keluar dari sana dengan seorang Om-Om.” Pita makin menunduk. “Kenapa sekarang kamu tidak menamparku, seperti tempo hari.” Pita tidak menjawab. Kami sama-sama terdiam agak lama. 

“Dik, kamu mau kan menjaga rahasia ini?” pintanya dengan nada agak memelas. “Toh, sudah banyak yang tahu. Aku juga pertama kali denger dari temen-temen,” jawabku. “Iya, itu dulu. Waktu itu ada seorang pelangganku yang sakit hati, karena aku menolak dijadikan istri mudanya, sehingga dia menyebarkan hal itu ke temen-temen, ” Pita menghela nafas sejenak. “Tapi sekarang orang itu sudah balik ke kampungnya di luar Jawa, setelah istrinya tahu soal itu. 


Dan sudah lama aku tidak lagi mendengar omongan miring soal itu. Tapi, tiba-tiba kamu ..” “Kenapa sih kamu sampai begitu?” tanyaku. Kemudian Pita bercerita panjang lebar, tentang bos ayahnya yang pertama kali ‘memakainya’ 2 tahun yang lalu, sebagai syarat dia mau membantu ayahnya yang waktu itu sedang dalam kesulitan. Dari situ kemudian Pita menjadi cewek panggilan, namun terbatas hanya pada kolega-kolega bos ayahnya. 

“Jadi, ayahmu juga tahu?” tanyaku. “Nggak. Ayahku sama sekali nggak tahu. Bos ayahku itu sudah cukup mengenal keluargaku, termasuk aku karena dia tinggal tidak jauh dari tempat tinggal kami dulu. Sekarang ayah sudah pindah kerja, dan kamipun pindah ke rumah ini. Tapi aku pekerjaan ini masih kuteruskan sampai sekarang.” 

Pita terus menceritakan ‘kisah’nya, termasuk kriteria pelanggan yang mau dia layani. Pita hanya mau melayani kalangan yang berumur dan sudah mapan, termasuk pejabat-pejabat. Karena, menurutnya resiko pekerjaannya bocor relatif lebih kecil, karena pelanggannya itu juga berkepentingan untuk merahasiakan kelakuan mereka. 

Pita juga bercerita tentang penghasilannya yang ditabung tanpa seorangpun yang tahu, dan sebagiannya dia pakai untuk keperluannya sendiri, dan juga membantu keluarganya dengan cara yang tidak mencolok. “Aku sudah cerita semuanya Dik. Terserah kamu mau menganggapku kayak apa, karena aku memang cewek kotor,” katanya lirih. “Kotor? Menurutku, kamu sama sekali bukan cewek kotor,” Pita memandangku mendengar kata-kataku. 

“Apa yang kamu jalani itu hanya bagian dari hukum supply-demand,” Pita terus menatapku. “Lagian, seks itu bagian naluri manusia yang paling dasar. Cuman, hipokrisi manusialah yang menudingnya sebagai hal kotor.” “Ah, sebentar kuambilkan minum. Sampai lupa dari tadi .. “ aku langsung berdiri memegang tangan Pita yang sudah lebih dulu berdiri. 

“Nggak usah Pit. Kemana-mana aku selalu bawa air minum sendiri,” kataku sambil tangan kiriku menepuk-nepuk tasku, sementara tangan kanan masih memegang tangan Pita. Beberapa saat kami hanya berdiri tanpa berubah posisi sambil memandang satu sama lain. Selanjutnya seperti ada magnet, kepalaku dan kepala Pita saling mendekat. Tak lama bibir kami sudah beradu, dan kami pun berciuman sambil berdiri dengan terhalang meja.


Tidak puas berciuman dengan posisi seperti itu, kutarik tangan Pita agar pindah ke tempat dudukku. Pita menolak dan melepaskan tangannya serta bibirnya dari bibirku. Aku sempat kecewa, namun hanya sesaat, karena Pita melepaskan diri hanya untuk menutup pintu yang masih setengah terbuka. Aku sudah tidak sabar. Kususul Pita yang sedang menutup pintu. 

Selanjutnya kucumbu dia persis di belakang pintu. Kudorong tubuhnya merapat ke pintu, seterusnya kulumah bibirnya yang agak dower seperti bibir Titi DJ. Pita sendiri tidak pasif, dia membalas ciumanku dengan lebih liar. Lidahnya pun dengan lihai sudah masuk ke dan menjelajah rongga mulutku. “hmmm … ohhhh … hmmmmm,” curahan rasa nikmatku dan Pita saling sahut menyahut, dengan mata setengah terpejam. 

Kemudian pelan-pelan kusibak dan angkat rok Pita tanpa melepaskan ciuman. Kuelus-elus kedua pahanya dengan tanganku. Terasa berbeda dengan waktu aku mengelus paha tante Ami. Kurasakan paha Pita lebih kencang dan kenyal. “hmmmmmh.. ahhhhh .. sssshh,” desahan Pita makin menjadi-jadi. Setelah agak lama, kutelusupkan tangan kananku ke dalam CD Pita dari arah atas. 

Kurasakan bulu-bulu yang lebih halus dibandingkan punya tante Ami. Namun hanya sebentar tanganku bermain di bulu-bulu Pita, selanjutnya langsung menuju sasaran, memek Pita. Kuelus-elus bibir memek Pita, sambil sekali-kali jariku menyentuh klitorisnya. Saat kuperlakukan seperti itu. 

Pita melepaskan bibirnya dari ciumanku, kepalanya mendongak ke atas, kedua tangannya memeluh leherku dan desahannya makin menggila, sedang mulut dan lidahku ganti mengecup dan menjilati leher Pita. “Diikk … kita pindah ke kamar,” ajak Pita dengan suara bergetar akibat birahinya. Aku tidak menjawab, tapi langsung membobong tubuh Pita. 

Kubawa Pita ke arah kamar yang ditunjuknya, sambil bibirku sesekali melumat bibir Pita. Setelah masuk dan menutup kamar, Pita menunjuk ke arah tempat tidur, tapi tidak kuturuti. Kuturunkan Pita di samping lemari kayu yang ada di kamar itu, dalam posisi berdiri. Aku masih ingin mencumbunya dalam posisi berdiri, sehingga kembali kudorong Pita, kali ini mepet ke lemari kayu sebelah samping. 


Selanjutnya dengan tidak sabar kulepaskan kaos Pita, dilanjutkan Pita yang membuka sendiri kaitan BH-nya. Kaos lepas ke atas, dan BH melorot ke bawah, memberiku satu pemandangan yang membuatku tercengang. Toket Pita benar-benar berbeda dengan toket tante Ami yang sudah sangat ku hapal. Kalau ukuran, hampir-hampir sama, malah punya Pita sedikit lebih kecil, tapi bentuknya itu yang benar-benar membuatku ngiler. 

Agak bulat dan terlihat padat, berbeda dengan punya tante Ami yang sudah kendor dan menggantung. Putingnyapun jauh berbeda. Putting toket Pita kecil dan kemerah-merahan, tegak meruncing. Akhirnya dengan halus kuremas-remas kedua toket Pita dengan posisi tubuh agak menjauh, agar aku tidak kehilangan pemandangan indah didepanku saat kedua tanganku beraksi. Sesekali, remasanku kuselingi dengan memlintir lembut puting toket Pita. 

“Ooohh.. Diikk .. terus sayang … aaahhh,” Pita tak henti mendesah sambil menatapku dengan mata yang semakin sayu. Puas mempermainkan toket Pita dengan tangan, kudekatkan kepalaku. Tanpa ampun toket Pita sebelah kanan putingnya sudah jadi mainan mulut dan lidahku, sedang yang sebelah kiri masih kumainkan dengan tanganku. “Aaaahhhh … Ssssssshhh ….. Oooooohhh … Enaaaaakkk sayang … terus sayang … “ Makin hebat saja desahan Pita. 

Kuteruskan mempermainkan toket Pita dengan tangan, mulut dan lidah bergantian kanan kiri beberapa kali. Di tengah-tengah aksi itu, kurasakan tangan Pita melolosi kancing seragamku satu persatu, melepas dan melemparnya. Kemudian dilepaskan juga kaos dalamku yang membuatku melepaskan mulut dari toket Pita. Kini aku dan Pita sudah sama-sama telanjang bagian atas. Sejenak Pita mengusap dadaku dan aku pun mengusap kedua toket Pita. 

Kemudian aku menunduk, melepas serta melorotkan rok Pita, kususul dengan melepas CD-nya yang berwarna pink. Pita sudah telanjang bulat di depanku. Aku tidak mau beranjak dari posisi setengah jongkok, sehingga memek Pita posisinya pas di depan wajahku. Kupandangi sambil kuelus-elus, dari mulai bulu-bulunya yang tergolong jarang dan halus. 

Sesekali kumasukkan jariku ke lubang memeknya, dan setiap kali itu pula Pita menggelinjang sambil mendesah. Setelah puas, kuangkat kaki Pita sebelah kanan. Kuletakkan pahanya di pundakku, dan mulutku kuarahkan ke memeknya. “Sruuuuttt .. ssssh .. “ kuhisap memek Pita yang sudah sangat basah. Kemudian kumasukkan lidahku, dan klitorisnya mulai dijilati. 


Pita menggelinjang makin hebat, desahannya sudah semakin panjang, dan tangannya sesekali menjambakku. Setelah itu aku berhenti sejenak. Kuatur posisi agar lebih nyaman. Sempat kulihat kedua tangan Pita mengarah ke belakang, memegangi pinggir lemari yang disandarinya. Kemudian kembali kujilati klitoris Pita, sambil jari tengah tangan kananku pelan-pelan kumasukkan ke lobang memeknya. Kukeluar masukkan dengan lembut, sambil terus kujilati. Seterusnya, 

Pita mulai menggoyang pantatnya sambil tak henti mulutnya mendesah dan meracau. Agak lama aksi seperti itu kami lakukan, sampai akhirnya kurasakan goyangan pantat Pita makin lama makin cepat yang disusul dengan desahan sangat panjang. “Aaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh … “ Pita mencapai orgasmenya. 

Setelah kuberi waktu sejenak untuk mengatur nafasnya kembali, kulepaskan sendiri celana dan CD-ku. Kontolku yang sudah keras dan bebas mulai kuarahkan ke lobang memek Pita yang masih berdiri. Tiba-tiba Pita menahanku, kemudian sambil berputar dia gantian mendorongku ke diding lemari. Setelah itu dia menunduk dan … “Hlleppp .. ” kontolku sudah masuk ke mulutnya. 

Kemudian kepala Pita bergerak maju mundur, mengocok kontolku dengan mulutnya, sehingga gantian aku yang mendesis-desis dan menggelinjang. Beberapa saat kemudian Pita menghentikan gerakannya, terlihat dia berjongkok. Sekarang tangannya yang gantian mempermainkan kontolku. Dikocok dan kadang diurutnya batang kontolku. 

Kurasakan cara Pita mengocok kontolku agak teratur dan terpola. Pas gerakan turun dari ujung ke pangkal, genggamannya terasa lebih kuat dan sedikit menekan, sedang waktu arah sebaliknya tangannya mengendor seperti hanya menyerempet-nyerempet saja. Arah kocoknya juga tidak monoton, kadang tangannya setengah memutar, sehingga kontol rasanya seperti dipelintir. 

Cara Pita mengocok kontolku benar-benar mendatangkan rasa nikmat yang luar biasa. Setelah beberapa saat, kocokan Pita menjadi semakin cepat, namun polanya tetap tidak berubah, yang membuatku merem-melek sambil ah-oh ah-oh tidak karuan. 

Kemudian, kurasakan tubuhku mulai bergetar hebat. Kuraih rambut Pita, kujambak dan arahkan kepalanya sampai wajahnya menempel ke kontolku. “Sreeet … crrrroooooot … “ spermaku muncrat membasahi wajah dan rambut Pita. Seterusnya kurasakan semua tulang-tulangku lemas, tubuhku terasa melayang terbawa rasa nikmat yang tiada tara. 

Tanpa bisa kutahan tubuhku melorot ke bawah sampai terduduk sambil bersandar di lemari. Selanjutnya Pita menubruk, menyandarkan kepalanya di dadaku sambil memelukku